Memahami Aturan Pajak Penghasilan untuk UMKM | Nextup ID

Pelaku UMKM tentunya memiliki kewajiban untuk membayar pajak kepada negara, yakni melalui Ditjen Pajak di bawah naungan Kemenkeu (Kementerian Keuangan). Lalu, berapa besar pajak yang dibebankan kepada pelaku UMKM tersebut? Kemudian bagaimana dengan sistem perhitungannya? Simak informasinya di bawah ini.

Apa Itu UMKM?

Hal pertama yang perlu dipahami adalah mengenai apa itu UMKM, agar paham juga usaha seperti apa yang punya kewajiban membayar pajak sesuai aturan perpajakan untuk UMKM. Secara garis besar, UMKM adalah yakni kelompok usaha yang terbagi menjadi tiga golongan dimulai dari usaha mikro, kecil, dan menengah.

Usaha bisa dikatakan usaha mikro, maupun kecil, dan menengah dilihat dari total aset dan juga total pendapatan usaha tersebut. Misalnya pada usaha mikro, total aset yang dimiliki maksimal 50 juta dengan omset minimal Rp 300 juta per tahun. Aturan ini sudah disesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Ciri-ciri UMKM adalah:

  • Sumber modal usaha adalah dari pinjaman bank.
  • Cakupan usaha relatif kecil.
  • Jumlah karyawan setidaknya hanya 5 orang.
  • Lokasi usaha kurang atau tidak strategis.
  • SDM usaha terbilang rendah, misalnya tingkat pendidikan yang masih rendah dengan keterampilan terbatas.
  • Belum memiliki NPWP dan legalitas yang jelas.
  • Sistem manajemen masih sederhana.
  • Jenis Kewajiban Pajak Pelaku UMKM

Pelaku UMKM kemudian diketahui memiliki sejumlah kewajiban pajak, bagi pelaku UMKM yang memenuhi syarat membayar pajak. Maka kewajiban seluruh pajak yang dibebankan wajib dibayar. Adapun jenis-jenisnya antara lain:

1. Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21)

Yakni jenis pajak yang dibebankan kepada karyawan UMKM tersebut dengan memotong gaji, honorarium, tunjangan, dan upah jenis lainnya. Pemotongan PPh kemudian ditujukan kepada karyawan, misalnya lewat keterangan di slip gaji.

2. Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23)

Pada PPh 23 dijelaskan akan dibebankan kepada UMKM yang melakukan kegiatan berhubungan dengan jasa tertentu. Misalnya pemanfaatan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan lain-lain sesuai aturan di dalam pasal 23.

Baca Juga:  Perencanaan Keuangan Sebagai Pondasi Kesuksesan Bisnis

3. Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 26)

PPh 26 diterapkan kepada UMKM yang melakukan transaksi luar negeri, dan tarifnya adalah 20% dari penghasilan bruto.

4. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2

Pada pasal 4 ayat 2, beban pajak ditujukan untuk pengalihan hak atas bangunan, transaksi sewa tanah atau bangunan, penghasilan atas usaha dari jasa konstruksi, dan terakhir adalah dari dividen perusahaan.

5. Pajak Penghasilan Final PP 23/2018

Diterbitkan dna diterapkan berdasarkan Peraturan pemerintah No.46 tahun 2013 di tahun 2013. Dimana beban pajak UMKM adalah 1% dari penghasilan bruto per tahun.

6. Pajak Pertambahan Nilai

Berikutnya ada PPN atau Pajak Pertambahan Nilai yang ditujukan kepada UMKM yang sudah memiliki kewajiban menerbitkan faktur pajak. Adapun besarnya PPN adalah 10%.

7. Pajak Tahunan

Yakni kewajiban bagi pelaku UMKM untuk melaporkan SPT tahunan, khususnya yang sudah memiliki NPWP dan juga legalitasnya sudah jelas. Namun hasil laporan mengenai nominal pajak yang dibayarkan akan kembali ke aturan Pajak Penghasilan Final PP 23/2018.

Aturan Pajak untuk UMKM

Jika memperhatikan penjelasan di atas, maka pada dasarnya dari total 7 jenis pajak untuk UMKM yang berlaku adalah Pajak Penghasilan Final. Pada tahun 2013, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

PP ini sendiri merupakan bentuk perhatian pemerintah kepada pelaku UMKM sekaligus bentuk dukungan yang diberikan pemerintah. Sehingga seluruh kewajiban pajak dipadatkan menjadi satu melalui PP tersebut, sebesar 1%. Artinya, beban pajak UMKM secara nasional adalah sebesar 1% dari omset per tahun UMKM tersebut.

Selanjutnya, di tahun 2018 pemerintah kembali menerbitkan PP yang merevisi PP di tahun 2013 tersebut. Yakni melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang menyebutkan pelaku UMKM dikenai Pajak Penghasilan Final sebesar 0,5% dari pendapatan bruto per tahun. Artinya, lewat peraturan baru ini beban pajak UMKM diturunkan.

Baca Juga:  Pentingnya Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk UMKM

Yakni dari yang awalnya 1% per penghasilan bruto per tahun menjadi 0,5% saja per penghasilan bruto UMKM per tahun. Aturan baru ini menjadi bentuk dukungan pemerintah kepada pelaku UMKM agar tidak terbebani dengan nilai pajak yang tinggi. Sekaligus membantu UMKM tumbuh semakin besar, karena UMKM diketahui punya dampak signifikan pada perekonomian masyarakat dan negara secara nasional.

Oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa Pajak Penghasilan Final sebesar 0,5% hanya ditanggung oleh UMKM dengan penghasilan bruto di atas Rp 500 juta per tahun. Sehingga untuk UMKM yang omset penjualannya di bawah Rp 500 juta per tahun tetap tidak dibebankan pajak penghasilan.

Aturan baru ini berlaku untuk seluruh pelaku UMKM di Indonesia, baik online maupun offline. Sehingga pelaku UMKM yang menjalankan usahanya murni secara online tetap akan diperhatikan omset penjualannya. Jika mencapai Rp 500 juta maka akan diwajibkan untuk membayar pajak penghasilan final.

Begitu juga sebaliknya, jika omset penjualan UMKM tersebut di atas Rp 500 juta maka akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 0.5%. Sehingga pajak ini sistemnya disesuaikan dengan omset yang dihasilkan oleh UMKM tersebut. Jika sudah memenuhi ambang batas, maka kewajiban pajak akan dikenakan kepada UMKM tersebut. Begitu juga sebaliknya.

Contoh Perhitungan Pajak untuk UMKM

Dari penjelasan di atas tentu bisa dipahami apa saja pajak yang akan ditanggung pelaku UMKM dan berapa besarnya? Dimana besarnya pajak penghasilan mengikuti aturan terbaru Pajak Penghasilan Final yang dikabarkan akan mulai diberlakukan di 1 April 2022 mendatang. Sehingga sebelumnya masih berlaku PP di tahun 2013.

Supaya memiliki gambaran untuk menghitung sendiri berapa nominal pajak penghasilan final. Maka berikut beberapa contoh perhitungan pajak untuk UMKM memakai ketentuan Pajak Penghasilan Final tersebut:

1. UMKM dengan Penghasilan Rp 35 Juta Per Bulan

Penghasilan bulanan Rp 35 juta, dan penghasilan brutonya adalah Rp 35 juta x 12 bulan = Rp 420 juta.

Baca Juga:  Tips Public Speaking: Content, Artikulasi, Intonasi, dan Gestur

Artinya, penghasilan bruto UMKM tersebut per tahun adalah Rp 420 juta dan belum memenuhi batas minimal untuk dikenakan pajak penghasilan final. Maka pelaku UMKM dengan omset Rp 35 juta per bulan tidak ada kewajiban membayar pajak penghasilan.

2. UMKM dengan Penghasilan Rp 100 Juta Per Bulan

Penghasilan bulanan Rp 100 juta, dan penghasilan bruto per tahun adalah Rp 100 juta x 12 bulan = Rp 1,2 miliar.

Pelaku UMKM ini dengan omset Rp 100 juta per bulan kemudian sudah diwajibkan untuk membayar Pajak Penghasilan Final sebesar 0,5%. Jadi, nominal pajak yang harus dibayarkan adalah terhitung dari bulan ke-6 sampai bulan ke -12. Jadi penghasilan di bulan ke-5 tidak dihitung. Maka perhitungannya menjadi:

Penghasilan bruto 7 bulan × 0,5 persen = Rp 700 juta × 0,5 persen = Rp 3,5 juta.

Artinya, pelaku UMKM dengan omset Rp 100 juta ini dibebankan pajak penghasilan final Rp 3.5 juta setahun saat melaporkan SPT di bulan Maret setiap tahunnya.

Jika ingin memahami lebih banyak hal mengenai pajak maupun hal penting lainnya dalam dunia UMKM. Maka bisa mencoba menggunakan layanan Nextup.id yang membantu UMKM di tanah air go digital dan terus berkembang.

pajak umkm 2021, pajak umkm, pph final umkm, pph final umkm 2021, pph umkm, pph final dtp, pajak usaha kecil, pph umkm 2021, umkm pajak, npwp usaha kecil, umkm bebas pajak, cara menghitung pajak umkm, pph final pp 23, pajak umkm adalah, pajak untuk umkm, pajak warung kecil, pajak final umkm, pajak umkm 0.5, npwp umkm

 

google-site-verification: google05ed858cc7056014.html